Pada
masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, situasi politik belum stabil hingga
menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan pendidikan Indonesia. Ketika terjadi agresi Belanda, Kementerian
Pengajaran ditempatkan di Surakarta, pemindahan tersebut terjadi pada Januari
1946. Pada waktu itu juga nama kementerian diubah menjadi “Kementerian
Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan” atau yang disingkat menjadi Kementerian
PP dan K (Sjamsudin, 1993: 9).
Ki Hadjar
dan Bung Karno
Sekarang
tanggal kelahirannya, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional
sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia kepada
beliau yang telah begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan nasional.
Gagasan
dan pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan dan kebudayaan sampai sekarang masih
selalu dikaji dan dianggap relevan diimplementasikan dalam sistem pendidikan
nasional. Salah satunya adalah prinsip Tut Wuri Handayani yang menjadi
semboyan resmi dari implementasi sistem pendidikan nasional.
Riwayat
Suwardi dan Taman Siswa
Nama
kecilnya adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat dan setelah dewasa ia mengganti
namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar adalah jenis bangsawan yang
sadar dan rela untuk menjadi sama dengan manusia lainnya. Dengan begitu,
sejatinya dalam sejarah pergantian namanya dari Raden menjadi Ki saja, sudah
tersirat filosofi anti-feodal dan anti-penjajahannya.
Selain
itu ia juga aktif di Budi Oetama pada 1908 dan mendapat tugas yang cukup
menantang di biro propaganda. Di situlah ia mencoba untuk mengobarkan semangat
dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesatuan dan persatuan Indonesia. Pada
25 Desember 1912 ia mendirikan Indische Partij sebagai partai politik
pertama beraliran nasionalis di Indonesia bersama dr. Douwes Dekker (Danudirja
Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangunkusumo. Indische Partij menjadi partai
politik pertama berideologi nasionalis dengan tujuan tegas, yakni Indonesia
merdeka.
Setelah
Taman Siswa berkembang di berbagai daerah, Ki Hadjar kemudian mewakafkan
seluruh perguruan Taman Siswa kepada Persatuan Taman Siswa pada 7 Agustus 1930.
Perkembangan Taman Siswa yang begitu pesat dan mendapat apresiasi dari rakyat banyak
tentu membuat gelisah pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Kemudian
diterbitkanlah ordonansi sekolah liar (Wilde Schoolen Ordonantie) yang
melarang sekolah swasta (partikelir) beroperasi tanpa izin dari pemerintah
berkuasa.
Ki
Hadjar dan Taman Siswa tidak tinggal diam, perlawanan dilakukan dengan
menjalankan Taman Siswa seperti biasa, tidak terpengaruh oleh ordonansi
tersebut. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar harus diganti oleh
pamong lain. Semboyan “ditangkap satu tumbuh seribu” muncul. Selain itu Ki
Hadjar juga mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda di Bogor yang
isinya ia akan melawan ordonansi tersebut sekuat-kuatnya dan selama-lamanya
dengan cara diam (Lijdelik Verset) (bandingkan dengan gerakan Ahimsa
dari Mahatma Gandhi di India).
Di
bawah pendudukan Jepang, pada 1943 ketika Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera), Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pemimpin di situ bersama
Soekarno, Hatta, K.H Mas Mansyur. Setelah proklamasi kemerdekaan, Ki Hadjar
Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (PP
dan K) Indonesia yang pertama.
Menjadi
Menteri PP dan K Indonesia Pertama
Ki Hadjar
Dewantara mendapat kehormatan sebagai Menteri PP dan K Republik Indonesia,
yakni mulai 19 Agustus 1945 sampai 14 November 1945 (sekitar tiga bulan). Pada
tahun 1945 sampai 1950 adalah masa revolusi fisik, di mana perjuangan bangsa
Indonesia melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dilakukan
secara fisik.
`Praktis
dalam waktu yang sesingkat itu tidak banyak program yang dapat dijalankan oleh
Ki Hadjar ketika menjabat sebagai Menteri PP dan K. Tidak banyak cerita yang
dapat digali dari masa tiga bulan tersebut. Peran besarnya justru memang tidak
terlihat ketika menjadi pejabat resmi negara, melainkan dalam lingkup yang
lebih luas ketika meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional Indonesia.
Walaupun
begitu, secara resmi sebelum menjadi Menteri PP dan K, Ki Hadjar Dewantara lah
yang menjelang detik-detik proklamasi dalam “Sub Panitia Pendidikan dan
Pengajaran” telah menyusun rencana pengajaran bagi Indonesia Merdeka. Rencana
tersebut antara lain adalah berkaitan dengan: (1) Undang-undang kewajiban
belajar; (2) Pendidikan dan pengajaran nasional bersendikan agama dan
kebudayaan bangsa; (3) Perkembangan kebudayaan bangsa; (4) Pendirian
sekolah-sekolah swasta yang dibiayai oleh pemerintah; (5) Susunan pelajaran
pengetahuan dan kepandaian umum sesuai dengan rencana pelajaran; (6)
Susunan/sistem persekolahan; (7) Ketentuan pelajaran bahasa dan kebudayaan; (8)
Ketentuan tentang Pendidikan Rakyat; (9) Pendirian “Balai Bahasa Indonesia;”
dan (10) Pengiriman pelajar-pelajar ke seluruh dunia.
.Pemikiran
dan Karya
Ki
Hadjar Dewantara jelas orang besar yang meninggalkan karya besar. Tidak hanya
berupa lembaga pendidikan Perguruan Taman Siswa, namun juga gagasan-gagasan
besarnya tentang pendidikan yang telah ia tuangkan dalam berbagai tulisan.
Sejak muda ketika bergabung dalam suratkabar di Jakarta ia telah banyak menulis
tentang pendidikan, kebudayaan dan politik.
Pada
mulanya Taman Siswa adalah forum diskusi “Sarasehan Malem Selasa Kliwonan” yang
diselenggarakan Ki Hadjar dan kawan-kawan di rumahnya. Dari forum itulah muncul
gagasan-gagasan pendidikan. Ki Hadjar kemudian ditunjuk untuk menangani
pendidikan anak dan kaum muda, sedangkan kaum dewasa ditangani oleh Ki Ageng
Suryomentaram (salah seorang putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang juga
menanggalkan gelar kebangsawanannya sama seperti Ki Hadjar). Taman Siswa di
Yogyakarta kemudian memiliki banyak bagian-bagian khusus, seperti Taman Indriya
(Taman Kanak-Kanak), Taman Muda (sekolah dasar), Taman Dewasa (sekolah menengah
pertama), Taman Madya (sekolah menengah atas), Taman Karya Madya (sekolah
menengah kejuruan), Taman Guru (sekolah pendidikan guru), dan Sarjanawiyata
(perguruan tinggi).
Pendidikan
yang digagas oleh Ki Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan
bahwa istilah opvoeding atau pedagogiek sebenarnya tidak dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa kita secara tepat. Istilah yang hampir mendekati
adalah momong, among dan ngemong. Di Taman Siswa kemudian dikenal
dengan sistem Among sebagai dasar pendidikannya. Caranya tidak dengan
memaksa, seorang guru baru diharuskan mengintervensi kehidupan si anak ketika
memang si anak tersebut salah. Dalam sistem Among inilah familiar metode
Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan harus dapat memberi
contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat
memberi gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani (ketika
di belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan).
Referensi
Dewantara,
K.H. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan.
Cetakan ketiga. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara,
K.H. (1994). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan. Cetakan
kedua. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Rahardjo,
S. (2009). Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959. Yogyakarta:
Garasi.
Sjamsudin,
H. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Sumber: https://pedagogikritis.wordpress.com diakses pada tangga 27/ 01/ 2015
Sumber: https://pedagogikritis.wordpress.com diakses pada tangga 27/ 01/ 2015